-->

Menambang di Dasar Laut: Masa Depan atau Bencana Ekologis?

Pencarian logam kritis untuk transisi energi telah membawa manusia ke perbatasan terakhir: kedalaman samudera. Di sana, terkandung kekayaan mineral yang bisa mengubah masa depan energi, namun juga menyimpan ekosistem unik yang belum sepenuhnya dipahami.

Harta Karun di Kegelapan Abadi

Dasar laut, khususnya Zona Clarion-Clipperton (CCZ) di Pasifik timur, menyimpan triliunan *nodul polimetalik—batuan seukuran kentang yang kaya nikel, kobalt, tembaga, dan mangan. Kandungan mineralnya 15 kali lebih pekat dibanding deposit darat, menjadikannya incaran untuk baterai kendaraan listrik dan teknologi hijau . Perusahaan seperti The Metals Company (TMC) asal Kanada telah mematok wilayah ini, didukung negara kepulauan Pasifik seperti Nauru dan Tonga, untuk mengekstraksi mineral melalui robot penyedot raksasa . Proyeksi pendapatan tahunannya bisa mencapai $2,2 miliar, memicu "demam emas" baru di abad ke-21 .

Teknologi Mutakhir di Medan Ekstrem

Penambangan laut dalam mengandalkan teknologi canggih:

  • Robot Otonom (AUV) seperti ThunderFish Alpha yang memetakan dasar laut dengan sonar real-time dan deteksi kimia .
  • Kendaraan Penambang setinggi gedung tiga lantai, dilengkapi penyedot hidrolik dan pipa pengangkut sepanjang kilometer ke kapal permukaan .
  • Sistem Pemrosesan yang menyaring mineral dan membuang kembali limbah sedimen sebagai slurry (lumpur beracun) ke kolom air.

Namun, operasi di kedalaman 4.000–6.000 meter menghadapi tantangan teknis maha besar: tekanan air 100 kali lebih tinggi daripada di darat, risiko korosi, dan kesulitan perawatan peralatan . Proyek perintis seperti Solwara 1 di Papua Nugini gagal tahun 2019 akibat masalah finansial dan lingkungan, meninggalkan kerugian $120 juta bagi pemerintah setempat .

Risiko Ekologis: Mengorbankan yang Tak Dikenal?

Ekosistem laut dalam adalah salah satu lingkungan paling misterius di Bumi. Studi terbaru mengungkap CCZ saja dihuni >5.000 spesies, 90% di antaranya belum terdeskripsikan . Penambangan mengancam mereka melalui:

  • Penghancuran Habitat Fisik: Kendaraan penambang mengeruk sedimen dan nodul—fondasi ekosistem mikroba dan invertebrata .
  • Gumpalan Sedimen (Plume): Limbah slurry yang dibuang memicu "badai debu bawah laut" yang menyumbat insang biota dan menghalangi fotosintesis plankton .
  • Polusi Suara dan Cahaya: Mengganggu navigasi spesies laut dalam yang sensitif .

Yang paling mengkhawatirkan, gangguan pada mikroba penyerap CO2. Penelitian menunjukkan komunitas mikroba dasar laut berperan dalam siklus karbon global. Jika rusak, mereka bukan hanya berhenti menyerap karbon, tapi mungkin melepas simpanan CO2 kembali ke atmosfer . Simulasi penambangan di Peru tahun 1980-an membuktikan: setelah 40 tahun, lokasi itu belum pulih .

Ahli biologi Beth Orcutt mengingatkan : "Di lokasi uji kecil tahun 1980-an, kehidupan mikroba belum pulih bahkan 26 tahun kemudian. Kita belum memahami apa yang kita hancurkan—dan begitu hilang, tak bisa dikembalikan".

Dilema Global: Ekonomi vs. Ekologi

Perdebatan regulasi di Otoritas Dasar Laut Internasional (ISA) mencerminkan polarisasi ini:

- Pro-Penambangan : Dipimpin Cina, Norwegia, dan Nauru. Berargumen logam laut penting untuk keamanan energi dan mengurangi ketergantungan pada Cina, yang menguasai 60% pemrosesan mineral darat .

- Anti-Penambangan: Diikuti 32 negara termasuk Jerman, Brasil, dan Kepulauan Palau. Menuntut moratorium hingga dampak ekologi terukur. Didukung lembaga seperti IUCN dan Koalisi Konservasi Laut Dalam.

Di tengah vakum regulasi, AS di bawah Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif (2025) untuk mempercepat perizinan penambangan, memicu lonjakan saham TMC . Sementara itu, perusahaan seperti BMW, Google, dan Samsung menolak menggunakan mineral laut dalam, menyebutnya "greenwashing" yang mengalihkan isu dari ekonomi sirkular .

Mungkinkah? Solusi potensial muncul dari inovasi dan kebijakan:

1. Ekonomi Sirkular : Daur ulang baterai bisa penuhi 56% permintaan kobalt dan 12% nikel pada 2040, kurangi tekanan tambang baru .

2.Teknologi Ramah Lingkungan: Robot penambang presisi rendah-dampak dan sistem pemrosesan slurry tertutup.

3. Kawasan Lindung Laut Dalam: Menyisihkan 30–50% CCZ sebagai sanctuary bagi keanekaragaman hayati .

4. Penelitian Mandiri : ISA perlu peta dasar laut komprehensif sebelum izin eksploitasi.


Boks Kritis: Dua Sisi Logam Laut

Pendukung: Nodul mengandung tiga dari empat mineral kritis AS. Jika berhasil, ini bisa amankan pasokan energi bersih. Alex Gilbert, Payne Institute

Penentang: Baterai LFP (bebas nikel/kobalt) kini kuasai 56% pasar. Urgensi tambang laut dalam dilebih-lebihkan.Tony Dutzik, Frontier Group

Perlukah Menyelam ke Jurang?

Penambangan laut dalam adalah paradigma zaman iklim darurat mengeksploitasi satu sistem untuk menyelamatkan sistem lain. Namun kegagalan Solwara 1 dan resistensi global mengisyaratkan bahwa teknologi saja tak cukup. Regulasi di ISA masih terfragmentasi, sementara riset ekologi tertinggal jauh dari ambisi industri .

Seperti diingatkan Dewa Putu Krishna (akademisi Universitas Telkom): "Apalah arti keberhasilan dekarbonisasi jika dicapai dengan mengorbankan ekosistem?". Laut dalam bukan sekadar gudang mineral—ia adalah arsip keanekaragaman hayati, penyerap karbon, dan mungkin, guru terbaik umat manusia tentang ketahanan dalam kegelapan. Menambangnya bukan soal bisakah, tapi siapakah kita sebagai spesies yang mengklaim diri bijak.

LihatTutupKomentar